Tuberkulosis (TBC) hingga kini masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia. Indonesia pun menjadi sorotan global setelah menempati peringkat kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia berdasarkan data Global Tuberculosis Report 2024 yang dirilis oleh WHO. Capaian ini tentu bukan suatu prestasi, melainkan sebuah peringatan serius akan perlunya langkah nyata dan cepat untuk menekan laju penyebarannya. Diperkirakan lebih dari 1 juta kasus baru TBC muncul setiap tahunnya di Indonesia. Banyak di antaranya belum terdeteksi, terlambat didiagnosis, atau tidak mendapat pengobatan sesuai standar.
TBC menyebar melalui udara terutama saat penderita batuk atau bersin dan sangat mudah menular di lingkungan padat, ventilasi buruk, serta sanitasi yang tidak memadai. Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah keterlambatan dalam mendeteksi dan menangani TBC. Banyak penderita tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi hingga penyakit berkembang menjadi lebih parah. Di sisi lain, stigma sosial dan ketakutan terhadap pengucilan membuat sebagian masyarakat enggan mencari pengobatan dini.
Ancaman yang lebih serius adalah munculnya TBC resistan obat (MDR-TB), yaitu jenis TBC yang tidak dapat disembuhkan dengan obat lini pertama. MDR-TB menuntut penanganan yang lebih kompleks, memerlukan obat yang lebih kuat, waktu pengobatan lebih lama dan biaya yang jauh lebih besar. Sayangnya, kemampuan laboratorium untuk mendeteksi MDR-TB belum merata di seluruh daerah. Menanggapi kondisi ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menginisiasi program nasional TOSS TBC (Temukan, Obati, Sampai Sembuh). Program ini menekankan pentingnya deteksi dini dan pengobatan tuntas serta mengajak seluruh lapisan masyarakat dan fasilitas kesehatan untuk berperan aktif dalam menanggulangi TBC.
Dalam mendukung program tersebut, peran teknologi diagnostik menjadi sangat penting. Salah satu perangkat yang kini mulai digunakan secara luas adalah alat PCR (Polymerase Chain Reaction) berbasis real-time, seperti PCRmax Eco 48. Alat ini mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dengan cepat, akurat dan dalam jumlah sampel yang besar secara simultan. PCRmax Eco 48 memiliki kapasitas hingga 48 sampel dalam satu kali running menjadikannya sangat ideal untuk keperluan skrining massal di laboratorium rujukan maupun daerah dengan angka kasus tinggi. Kecepatan hasil yang hanya memerlukan waktu beberapa jam tentu menjadi keuntungan besar dalam memutus rantai penularan sejak dini.
Kelebihan lain dari PCRmax Eco 48 adalah efisiensinya. Alat ini hemat energi, memiliki desain ringkas dan mudah dioperasikan. Fitur-fitur tersebut sangat mendukung penggunaan di berbagai fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan laboratorium daerah yang selama ini menghadapi keterbatasan alat dan sumber daya. Namun, penanganan TBC tidak cukup hanya dengan teknologi. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu memahami gejala TBC, pentingnya menyelesaikan pengobatan hingga tuntas, serta tidak menjauhi penderita. Penguatan komunikasi risiko dan kampanye publik berbasis komunitas menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung proses pemulihan pasien.
Dengan menggabungkan teknologi diagnostik yang canggih, program pemerintah yang terstruktur, serta partisipasi aktif dari masyarakat dan tenaga kesehatan, Indonesia memiliki peluang besar untuk membalik keadaan. Target eliminasi TBC dimasa depan bukan sekedar mimpi melainkan cita-cita yang bisa dicapai jika semua elemen bersinergi dalam satu arah menjadikan Indonesia bebas TBC 2030.